Ibarat sebuah pencarian, sampai puncak tertinggi. Sebuah kebenaran sdh kita temukan, berujung pada HI V. Lalu apa yang kau rasakan? pasti sebuah keadaan bingung dimana segala sesuatu awalnya kita temukan tidak ada, namun ada. Itulah yang disebut ibarot.
Lalu mau kita apakan ini ibarot? Semua hal adalah ibarot, baik semua benda, semua peristiwa, dari dulu sampai kapanpun nanti. Kita seolah nge-Blank sejenak dengan penemuan ini. Sementara kita masih punya hasrat, impian, bahkan hukum alam masih berlaku di diri kita dan alam ini. Kalo nggak makan ya laper. Hahaha
Kita mencoba berfikir, apakah tidak mungkin semua ibarot ini ada yang mengatur? kok semuanya begitu tercetak demikian adanya. Kok saya manusia? kok ada hukum alam? mungkinkah ada yang mengatur? tetap merujuk pada HI V, bahwa benda itu tidak ada.
Otak terus bertanya "mungkin yang mengatur ini bukan benda?", mungkinkah ? Mungkinkah ada dzat yang bukan benda yang mengatur ibarot? menciptakan ibarot? Pertanyaan ini terjawab juga lho. Jawabannya adalah tidak mungkin. Menciptakan adalah proses yang berwaktu, mengatur juga demikian. Apakah masuk di akal sehat, seandainya ada sesuatu / dzat yang bukan benda, namun berwaktu? tidak mungkin.
Dan apakah masuk akal sehat jika ibarot itu diciptakan? sedangkan benda sudah kita temukan sejatinya tidak ada. padahal ibarot itu bukan sejatinya ada, bahkan ibarot itu sejatinya tidak ada namun bisa diibaratkan ada.
Maka jangan berandai-andai ada Sang Pencipta di luar sana yang dengan cara mekanik mengatur semesta. Saat keyakinan ini menyeruak, biasanya langsung tudingan atheist mengemuka. Padahal beda lho, orang yang paham ini dengan atheist. Atheist tidak percaya Tuhan namun percaya bahwa benda / di level energi sejatinya ada. Ini bener-bener beda. Unik. Hehehe
Seolah seorang pendaki yang telah sampai pada puncak gunung menemukan ibarot, kita turun gunung dalam keadaan bengong. Hampir tak percaya apa yang telah kita temukan diatas sana, rupanya ketiadaan yang selanjutnya mewujudkan sesuatu yang bernama ibarot.
Dalam perjalanan turun gunung ini sesekali juga merasakann kebebasan sebagai subjek, saat ditanya oleh diri sendiri "lantas mau apa sekarang?", jawabannya adalah kebebasan yang tanpa batas. Bagaimana tidak, segalanya adaah ibarot, mau berpikir, berperasaan, bertindak apapun, kau bebas. No rules, tidak ada hukum perintah larangan seperti apa yang kita duga sebelumnya.
Namun, nyatanya di tengah kebebasan itu kita tidak bisa melepas dari 4 hal:
1. Fitrah sebagai manusia dengan segala sisinya, alam sadar, alam bawah sadar, seolah kita sudah di design seperti ini. Meskipun sdh kita temukan bahwa tak mungkin ada yang mendesignnya.
2. Kita punya keinginan, meskipun jika kita turuti semua, ada yang berimbas baik, ada yang kurang baik bagi kehidupan kita jika kita terus ngotot memenuhi semua ego.
3. Kita punya hukum alam yang berlaku pada diri kita, kita lapar kalo tidak makan.
4. Kita punya ideal bagaimana dunia ini seharusnya. Nilai luhur kehidupan, yang mutlak tidak bisa dibantah hati kita.
Kita berhenti sejenak setelah turun gunung, memikirkan bagaimana kita mau menjalankan kehidupan berikutnya dengan segala fakta yang ada. Seperti lembaran baru kehidupan, bagaikan mau berlayar. Kita berdiri mematung di pinggir pantai, bukan lagi kebenaran atas wujudnya sesuatu benda lagi. Perjalanan pencarianmu telah berakhir, kini bukan lagi saatnya pencarian yang dimaksud di awal dulu. Kini adalah saat berlayar, berkarya, dengan kebebasan nilai yang akan kita bawa, keyakinan apa, siapa yang akan kau perjuangkan, bahkan kebaikan keburukanpun kita yang menentukan sendiri untuk kita pegang.